Sabtu, 30 Januari 2016

Swasembada yang Berujung Kelangkaan

Oleh : Hana F

Di buat untuk tugas mata kuliah Pengantar Ekonomi 1

          Daging sapi kini menjadi pembicaraan yang sangat populer saat ini karena beberapa pedagang daging sapi mogok berjualan akibat kelangkaan ketersediaan daging yang membuat harga melonjak hingga Rp.130.000/kilogram. Harga tersebut adalah harga yang cukup fantastik mengingat harga daging sapi hampir tak pernah berada di angka Rp.100.000/kilogram.
          Sungguh hal ini sangat memberatkan bagi masyarakat umum, terutama para industri kecil dan menengah dalam sektor pangan yang bahan bakunya memanfaatkan daging sapi, seperti pengusaha abon, dendeng, rendang, pedagang bakso, sate, dan olahan makanan lainnya serta rumah makan. Karena harga bahan baku yang melonjak tinggi membuat biaya produksi pun ikut meninggi, sehingga untuk menutupi biaya produksi mereka terpaksa menaikkan harga dagangannya. Dan hal tersebut mengakibatkan menurunnya daya beli konsumen karena keterbatasan dana yang harus dibagi dengan kebutuhan lainnya yang sama-sama melonjak, dan hal ini berakhir dengan kerugian industri kecil dan menengah.
          Sudah menjadi rahasia umum, bahwa Indonesia adalah pengimpor besar sapi dari Australia. Sejak tahun 1990, Indonesia mulai mengimpor sapi hidup dari Australia sebanyak 8.061 ekor namun pada tahun-tahun berikutnya, impor sapi malah semakin tumbuh dengan sangat pesat rata-rata 2 kali lipat per tahun dan pada tahun 1997 mencapai 428.077 ekor atau naik 53 kali lipat, dan puncaknya pada tahun 2009 impor sapi hidup dari Australia mencapai 772.868 ekor yang merupakan rekor tertinggi sepanjang 20 tahun sejak 1990 (MLA, 2010). Apabila ditambah dengan nilai impor daging beku dan jerohan yang mencapai 110 ribu ton atau senilai 2,5 triliun (Statistik Peternakan, 2010), maka total nilai impor daging beku dan sapi hidup tahun 2009 mencapai 7,3 triliun rupiah. Akibat impor yang sangat berlebihan inilah yang menyebabkan anjlok dan terpuruknya peternakan sapi lokal pada tahun 2009. Oleh karena itu dapat dimaklumkan jika pemerintah bertekad untuk mengembangkan sapi agar tercapai swasembada daging sapi pada tahun 2014.
          Karena tekad Indonesia untuk swasembada daging sapi tersebut, maka menteri pertanian mengambil tindakan yang sangat berani untuk membatasi impor daging sapi dari Australia yang sebenarnya tidak harus dilakukan. Menteri pertanian hanya membolehkan impor sapi sebanyak 50 ribu ekor dari kebutuhan 250 ribu ekor sapi. Jelas hal ini membuat Indonesia menjadi kekurangan pasokan daging, karena kebutuhan daging sapi nasional per tahun adalah 653 ribu ton atau setara 3.657.000 ekor sapi atau rata-ratanya setiap bulan yaitu sekitar 305.000 ekor sapi. Dari kebutuhan tersebut, Indonesia hanya mampu memenuhi 406 ribu ton atau sekitar 2.339.000 ekor sapi.
          Populasi sapi nasional pada tahun 2015 memang menembus angka 17,2 juta ekor sapi. Namun 17,2 juta itu tidak semuanya adalah sapi siap potong, karena masih ada yang anak-anak atau sebagian besarnya adalah indukan betina yang tidak boleh dipotong. Hal tersebut yang menyebabkan Indonesia kekurangan pasokan daging sapi di pasaran.
          Kondisi keberadaan daging sapi lebih diperparah karena sistem usaha ternak sapi potong yang menguasai pasar hampir 90%. Kebanyakan peternak Indonesia adalah peternak dengan cara sederhana atau tradisional, maksudnya disini peternak sambilan yang ada di desa-desa, mereka hanya memiliki satu atau dua ekor saja dan pemeliharaannyapun hanya dengan dilepaskan di padang rumput atau di gembalakan. Dan biasanya peternak hanya menjual sapi berdasarkan keinginan bukan berdasarkan permintaan pasar, ini karena peternak hanya menjual sapi peliharaannya jika membutuhkan uang saja contohnya pada saat awal pelajaran baru anak ataupun pada saat akan melakukan hajatan besar, mereka baru akan menjual sapi peliharaannya, padahal permintaan daging sapi adalah setiap saat, sehingga terjadi ketidak seimbangan antara permintaan dan pasokan daging sapi.
          Persoalan lainnya adalah infrastruktur dalam alokasi atau distribusi dari wilayah produsen ke konsumen yang membutuhkan biaya tinggi, tidak ada kendaraan khusus untuk mengangkut sapi tersebut, dan bahkan bisa saya katakan bahwa kondisi pengangkut sapi sangat memperhatinkan, karena hanya diangkut dengan truck biasa dan makanan seadanya, apalagi kondisi jalan di hampir seluruh Indonesia sangat tidak baik, lubang pun sering tampak menganga di jalan lintas utama, sehingga membuat sapi stress dan mengurangi angka keselamatan sapi sampai ke rumah potong.
          Banyak sekali yang dapat dilakukan pemerintah dalam mengatasi kegagalan swasembada yang berujung kelangkaan. Salah satunya adalah mengoptimalkan peran bulog sebagai penyangga harga, dengan cara mengambil alih hak swasta yang selama ini mengimpor sapi. Jadi, pihak swasta hanya akan memilik hak untuk pendistribusiannya saja, sehingga bulog mengetahui data sapi disetiap daerahnya. Apabila nanti ada kelangkaan daging sapi disuatu daerah, maka bulog dapat mengetahui apa penyebabnya. Jika karena kekurangan sapi, bulog dapat bertanya kepada perusahaan yang ada di daerah tersebut, dimana sapi itu di sembunyikan?, karena bulog mengetahui jumlah sapi di setiap daerah. Sehingga bulog pun dapat mengendalikan pasokan dan harga di Indonesia.
          Solusi lain yang mungkin dapat dilakukan untuk mengatasi swasembada daging sapi yang berujung dengan kelangkaaan ini adalah pemerintah harus menemukan titik keseimbangan ideal antara permintaan dan penawaran daging sapi. Langkah yang dapat dilakukan adalah mungkin dalam jangka pendek ini, pemerintah harus berdiskusi dengan para pengusaha, pedagang, dan peternak untuk menentukan kembali titik keseimbangan permintaan dan penawaran daging sapi di dalam negeri. Mempertimbangkan dan memperhitungkan secara akurat serta menetapkan angka kuota impor sapi dan daging sapi setiap tahun. Bersungguh-sungguh dalam memperbaiki peternakan sapi di Indonesia melalui berbagai kebijakan yang benar-benar terpikirkan dengan sangat akurat, untuk mencapai program swasembada daging sapi yang sebenarnya agar tidak lagi terjadi swasembada yang berujung kelangkaan.



Contact Person : Maulidiyah Hana Francilia